Seks Dini Berkorelasi dengan Perceraian

Koran Jawa Pos hari ini (31/12) menyajikan headline (pada segmen Metropolis) hasil survei Hotline Pendidikan, Hotline Surabaya, dan Isco terhadap gaya berpacaran remaja setingkat SMP di Surabaya. Survei atas 700 responden itu mendapati, bahwa 30% responden berpacaran menjurus ke hubungan intim dan 14% sudah berbuat yang seharusnya hanya boleh dilakukan suami-istri.

Tak terlalu mengejutkan memang, tapi tetap saja membuat para orang tua, khususnya yang punya anak gadis remaja, was-was.

Terkait dengan masalah tersebut, sebuah penelitian mengenai hubungan antara seks remaja dengan tingkat perceraian di Amerika menemukan bahwa wanita yang telah berhubungan seks di usia remaja lebih cenderung untuk bercerai.

Dari hasil analisis Universitas Iowa terungkap, bahwa 31% wanita yang berhubungan seks untuk kali pertama saat remaja bercerai setelah 5 tahun menikah, dan 47% bercerai setelah 10 tahun menikah.

Tingkat perceraian untuk perempuan yang menunda seks sampai dewasa jauh lebih rendah, yaitu 15% pada usia pernikahan 5 tahun, dan 27% pada usia pernikahan 10 tahun.

Anthony Paik, penulis dan profesor sosiologi di UI College of Liberal Arts and Sciences, meneliti tanggapan dari 3.793 wanita yang pernah menikah kepada 2002 National Survey of Family Growth.

"Hasilnya sesuai dengan argumentasi, bahwa ada dampak buruk pada seksualitas remaja, termasuk kemungkinan meningkatnya perceraian," kata Paik.

"Tapi ada juga dukungan untuk pandangan ‘seks yang lebih positif', karena jika remaja menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seks hingga dewasa, dan itu yang diinginkan, maka pilihan itu tidak selalu menyebabkan peningkatan risiko perceraian," katanya.

Paik mengatakan, ada beberapa penjelasan yang masuk akal mengenai kaitan antara seks remaja dengan perceraian.

"Salah satu kemungkinannya adalah penjelasan dari segi seleksi, di mana wanita yang melakukan hubungan seks saat remaja cenderung untuk mengalami perceraian. Perilaku yang membuat mereka merasa enjoy melakukan berhubungan seks saat remaja mungkin juga berpengaruh terhadap kelangsungan pernikahan mereka," jelas Paik.

"Kemungkinan lain adalah penjelasan sebab-akibat, di mana pengalaman seksual dini menyebabkan perkembangan perilaku atau keyakinan yang mengakibatkan perceraian," katanya.

Dalam analisis statistik, ia menemukan lebih banyak bukti lagi yang menunjukkan, bahwa pengalaman seksual saat remaja berpengaruh pada pernikahan. Hasil ini terkait dengan unwanted sex yang mendukung dugaannya.

Namun demikian, ia memperingatkan bahwa terlalu dini untuk mengesampingkan penjelasan seleksi.

"Jika seks itu tidak sepenuhnya diinginkan atau terjadi dalam konteks traumatis (perkosaan misalnya), mudah untuk membayangkan bagaimana hal itu bisa berdampak negatif pada pandangan wanita terhadap pergaulan, atau pada kemampuannya bergaul," kata Paik.

"Pengalaman tersebut bisa membuat yang bersangkutan berada pada posisi pergaulan yang kurang stabil," katanya.

Temuan telah dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family edisi April.

Foto : dawnkurtagich.blogspot.com

Bagaimana dengan di Indonesia? Di sini, keperawanan masih menjadi harga mati yang harus dimiliki wanita ketika hendak memasuki jenjang perkawinan, tak peduli seburuk apa pun tabiat calon suaminya di masa lalu. Artinya, tak perlu menunggu 5 atau 10 tahun untuk sampai pada situasi perceraian. Saat menyadari wanita yang dinikahinya sudah tidak perawan lagi, dan sang suami tidak bisa menerima itu, perceraian sudah di ambang pintu. (mp2)


Related Posts
Previous
« Prev Post

Comments