Tanggapan Atas Curhat “Amburadulnya Negeriku”

Menarik sekali membaca curhat bung Darmawan yang berjudul “Amburadulnya Negeriku” pada blog Jangan Bilang Siapa-siapa. Saya sependapat dengan Anda, karena memang begitulah kondisi negeri ini saat ini. Di satu sisi, setiap orang seakan-akan merasa berhak untuk memaksakan kehendak/ pendapatnya sendiri, sementara di sisi lain banyak yang melakukan tindakan tak terpuji dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli bagaimana caranya.

Saya pernah berdiskusi dengan beberapa rekan yang sama-sama merasa prihatin pada menurunnya moralitas bangsa ini. Meskipun banyak yang tergerak untuk bertindak nyata menyuarakan keprihatinannya, tapi tak pernah ada respon serius dari pihak terkait. Bagai angin lalu saja. Semuanya sibuk (atau sok sibuk?) dengan urusan masing-masing, dan respon baru muncul setelah terjadi peristiwa. Bencana misalnya. Atau kecelakaan.

"Kita biasa hidup dalam tekanan, ketakutan dan penindasan, bekerja jika ada perintah dari penguasa (kolonial)."

Mungkin saja semua ini berakar pada sejarah bangsa kita. Tiga ratus lima puluh tahun lamanya kita hidup di bawah penjajahan Belanda, ditambah bonus tiga setengah tahun oleh bangsa Jepang. Waktu selama itu cukup bisa merubah budaya dan perilaku bangsa yang terjajah. Kita biasa hidup dalam tekanan, ketakutan dan penindasan, bekerja jika ada perintah dari penguasa (kolonial). Itulah sebabnya ada istilah kerja rodi atau kerja paksa. Turun temurun hidup dalam situasi seperti jelas akan berpengaruh pada perilaku generasi berikutnya. Seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar habis seisi lumbung. Atau bom waktu yang siap meledak.

Nampaknya, tawuran antarwarga atau antarsiswa atau antarmahasiswa dan bahkan antarangggota dewan adalah wujud nyata dari api dalam sekam atau bom waktu itu. Kemerdekaan, atau dalam hal ini kebebasan, benar-benar diartikan sebagai kebebasan untuk melakukan apapun tanpa seorangpun boleh menghalangi, hingga pantas kiranya kalau disebut dengan kebrutalan.

Kenapa waktu kemerdekaan diproklamirkan kebrutalan itu tidak muncul? Bukankah itu saat yang tepat untuk mengapresiasikan kemerdekaan dengan bebas melakukan apapun tanpa tekanan atau tindasan dari kaum penjajah?

Kemungkinan yang paling masuk akal (setidaknya bagi saya) adalah karena kharisma dari seorang Soekarno dan Hatta. Boleh jadi bagi rakyat yang baru merdeka, dua figur itu adalah orang yang paling pantas dihormati dan dipercaya untuk membawa mereka pada kehidupan baru sebagai rakyat yang berdaulat, terbebas dari campur tangan pihak luar.

Wujud yang paling nyata dari rusaknya perilaku akibat penindasan bisa kita lihat di jalan raya. Di jaman merdeka ini, satu-satunya “penindas” adalah rambu-rambu lalu lintas yang tak lain adalah benda mati. Polisi hanya siaga di titik-titik tertentu saja. Jadi saat kita duduk di jok kendaraan, seakan kebebasan (dalam hal ini bergerak) ada di genggaman kita. Perilaku main serobot, slonong sana slonong sini, melanggar rambu-rambu, menjadi pemandangan yang sangat umum kita jumpai. Kalau ada polisi saja baru kita tertib. Itu pun bukan karena didorong rasa hormat, tapi lebih karena enggan mengurus tilang atau mengeluarkan sejumlah uang untuk “damai”. Tak ada sedikitpun kesadaran untuk berlaku sopan dan tertib di jalanan.

Di era orde baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun, rakyat merasa seakan kembali tertindas namun dalam wujud yang lebih halus. Pada masa ini api yang nyaris padam kembali memercikkan bara yang kemudian membesar dan memanas di 1998. Terlebih saat mereka kemudian menyadari pemimpin yang baru tidak dapat membawa mereka pada kesejahteraan yang diimpikan. Kepercayaan pada pemimpin bangsa merosot tajam hingga titik terendah. Ini membuat rakyat, mau tak mau, bertindak sendiri dengan cara mereka sendiri agar bisa bertahan hidup di tengah kepincangan ekonomi yang makin “menyakitkan”.

Celakanya, naluri untuk menjadi makhluk merdeka berkembang tak terkendali menjadi perilaku beringas/ brutal di semua aspek kehidupan. Nyaris setiap hari kita disuguhi adegan kekerasan yang nyata, bukan film ala Hollywood. Lebih celaka lagi, kebrutalan itu menjadi tontonan yang sewaktu-waktu dinikmati oleh mereka yang tak sepatutnya menyaksikan adegan itu. Lihat saja tayangan di TV. Tawuran massal menjadi konsumsi sehari-hari, dan ini ternyata menjadi guru yang sangat efektif dalam merusak moral anak-anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Contoh yang paling faktual dari kemerosotan moral usia dini adalah terjadinya tawuran antarsiswa SD. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat, baik langsung di TKP maupun melalui TV atau koran.

Aparat penegak hukum seolah tak berdaya menghadapi kasus-kasus kebrutalan di jalanan. Mereka tak lagi disegani. Lihat saja, ada aparat yang dilempar kotoran manusia saat mengamankan demonstrasi mahasiswa yang berujung bentrok. Kenapa demikian? Karena institusi baju coklat ini juga tak luput dari borok yang membuat kepercayaan dan apresiasi pada kinerja mereka menurun drastis.

Ironis memang. Di satu sisi, banyak rakyat “berjuang” agar bisa bertahan hidup meski dengan cara-cara ngawur, di sisi lain, segelintir manusia yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat kecil malah lebih ngawur lagi, sibuk menggalang kekuatan demi sebuah kekuasaan, sambil menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Bangsa ini sudah terjebak dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan. Hanya Tuhan yang bisa merubah semua ini, melalui doa-doa tulus yang kita panjatkan agar bangsa ini tak makin terpuruk lebih dalam di lembah kehancuran. (mp2)


Related Posts
Previous
« Prev Post

Comments