Saat aku diam dan tak pernah mengeluh, aku diperkosanya dalam tekanan batin hingga aku hamil.
Hari itu adalah sebuah permulaan. Sekitar pertengahan 2008, saat aku bertandang ke rumah salah seorang teman tetangga desa, perhatianku tiba-tiba tertuju pada scsok perempuan berparas anggun dan berpenampilan modern. Ia memperkenalan diri sebagai Nisha, kakak perempuan temanku tadi. Meski sejak kecil kami berteman dan sering berkunjung ke rumahnya, baru kali ini aku melihatnya. Hmmm, rupanya kakak temanku ini baru saja menghabiskan masa kontraknya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia. Aku pun sempat berandai-andai, jika pengakuan sebagai kakak itu diperjelas adiknya, mungkin aku tidak akan percaya.
Bila melihat raut wajahnya, Nisha terlihat sangat muda dan trendy, mungkin lebih pantas menjadi adikku. Meski usia kami terpaut dua tahunan. Aku lahir pada tahun 1976 sedangkan Nisha pada 1974. Sejak saat itu, kekagumanku pada Nisha diam-diam muncul. Aku kagum atas kesuksesan Nisha sebagai seorang wanita, ia aku anggap sudah mapan dan berkecukupan. Sedangan aku, wanita yang tinggal di rumah gubuk dan lantainya pun hanya sebatas tanah. Apalagi untuk sebuah kata mapan, itu masih sebatas mimpi.
Untuk bisa seperti Nisha, aku rutin berkunjung ke rumahnya. Yang tertanam di hati hanyalah kecemburuan. Cemburu atas ketidakmampuanku bekerja seperti Nisha. Bagaimana aku tidak cemburu, suami yang kunikahi dan kupuja tak ubahnya seorang anak kecil. Setiap kali aku berupaya untuk menyadarkannya agar bekerja, Mas Rianto selalu marah dan jengkel. Padahal, kebutuhan untuk membeli beras dan tetek-bengeknya masih aku harapkan, terlebih Afriz, anakku semata wayang, masih memerlukan biaya lebih. Untuk bisa mencukupi itu semua, Mas Rianto selalu berhutang dari satu orang ke orang lainnya. Aku yang diperistrinya merasa malu dan ingin sekali merubah nasib keluarga ini agar menjadi lebih baik. Ibarat cacing kepanasan, aku pun berusaha mengungkapkan keinginanku untuk bekerja sebagai TKW kepada Mas Rianto. Aku berharap jika niatanku ini disetujui suami, maka semua hutang-hutangnya akan kulunasi dan mencoba mengumpulkan uang untuk modal usaha dan membangun rumah.
"Tidak boleh, pokoknya tidak boleh!" jawaban Mas Rianto yang keras jauh dari harapanku. Aku pikir, jika ia setuju, aku bisa memulai awal hidup baru. Sebab, tanpa persetujuan suami, terus terang aku tidak bisa berangkat ke luar negeri. Keinginan hati ini tak hanya sekali - dua kali kuungkapkan ke Mas Rianto. Tapi penolakanlah yang aku dapat. Akhirnya di penghujung tahun 2008, hanya bermodal baju yang kukenakan, kutinggalkan Afriz, Mas Rianto dan ibuku. Itu kulakukan setelah beberapa bulan berpikir matang untuk bekerja di luar negeri. Aku akui, jalan yang kutempuh ini salah.Tapi apa boleh buat, jika tidak begini aku tidak mungkin bisa berangkat mencari nafkah ke negeri seberang.
Saat keluar rumah tanpa sepengetahuan mereka, aku langsung dijemput Pak Heri, seorang sponsor, yang sejak tadi menungguku di pertigaan Jalan Raya Janti. Dari Pak Heri-lah, aku diperkenalkan dengan Bu Lastri, pemilik PJTKI di Kota Jogjakarta. Tapi sebelumnya, aku berjanji pada diri sendiri hanya akan bekerja di luar negeri selama dua tahun alias satu kali masa kontrak saja. Jelasnya, aku bekerja ke negeri orang hanya untuk menambah modal guna menopang rumah tanggaku kelak. Kata Pak Heri, karena tidak mempunyai surat ijin dari suami aku tidak bisa berangkat ke luar negeri. Melihat ketekatanku untuk bisa berangkat, Pak Heri akhirnya memberikan solusi dengan membuatkan surat ijin palsu plus tanda tangan suamiku. Saat itu, Pak Heri sempat berpesan untuk tidak memberitahukan perihal surat ijin suami palsu itu kepada siapa-siapa. Terus terang, karena aku membutuhkan sekali, aku pun mengiyakan saja permintaan Pak Heri tanpa melihat dampak yang akan ditimbulkan nanti. Setelah urusan surat beres, dengan melalui jalan darat aku langsung dibawanya ke penampungan yang terletak di Kota Medan.
Selama di penampungan yang kupikirkan adalah nasib anakku di tangan suamiku. Entah, apa yang ada di benak anakku saat itu, apakah sama dengan yang kurasakan. Selama di penampungan aku selalu menangis jika teringat ucapan Afriz,”Bu... kapan Afriz punya sepatu dan tas baru ....?” Duh Gusti, aku selalu tak tahan, bahkan ingin sekali mengurungkan niatku dan bergegas pulang ke rumah sambil memeluk Afriz. Tapi, apa daya, jika pikiran ini teringat Mas Rianto, niatan untuk pulang selalu pudar. Toh, semua ini kulakukan untuk suami dan anakku. Nantinya mereka juga akan menikmati hasil dari jerih-payahku kelak. Selama di penampungan, untuk urusan makan dan minum jangan ditanya. Aku mendapatkannya secara gratis. Tapi untuk urusan mandi, shampoo dan sikat gigi harus kubeli sendiri. Padahal selama di penampungan aku tidak punya uang sepeser pun untuk membelinya. Untung, temanku sepenampungan memberi perlengkapan mandi secara cuma-cuma kepadaku.
Nasib yang kualami saat itu tak jauh beda dengan 117 calon TKW yang sama-sama mengharapkan perubahan hidup yang "layak". Setelah lima bulan hidup di penampungan tanpa dibekali keahlian yang bisa kuterapkan ketika panggilan kerja nantinya kudapat, lima bulan itu kuisi dengan memasak dan memasak. Tapi penantian itu tak selamanya berjalan lama, pertengahan Mei 2009, aku pun mendapat majikan di Malaysia. Kabar yang diucapkan Pak Heri waktu itu kusambut dengan suka-cita, akhirnya aku "mendapatkan". Lekas kukemasi baju dan perlengkapan mandi sambil mendengarkan pesan dari Pak Heri untuk tidak membuat masalah selama bekerja di Malaysia. Selain berpesan, Pak Heri juga memberi uang saku sebesar Rp 200 ribu.
Singkatnya, selama di bandara, dengan wajah ndesoku kutatapi satu per satu pesawat terbang yang dulunya hanya kulihat ketika aku masih kanak-kanak. Sungguh, aku seneng banget bahwa aku anak asal Kartasura juga bisa naik pesawat terbang. Kendati hati ini senang, selama menapaki anak tangga pesawat, aku berucap, saat inilah aku akan berpisah dengan semua orang yang aku cintai ... Tuhan, berilah kekuatan kepada hambaMu ini dengan anakku Afrizal.
Setibanya di Malaysia, aku pun diberitahu jika nantinya akan bekerja di rumah Tan Tjeng Bok, seorang duda beranak tiga yang tinggal di daerah Penang dengan masa kontrak selama dua tahun. Akhirnya, kujalani pekerjaan sebagai PRT itu dengan suka-cita. Namun, selang lima bulan menjalani masa kontrak, ketidaknyamanan dan ketidakbetahan mulai kualami. Bisa dibayangkan, untuk makan saja aku harus memulainya pada jam 14.00 WIB. Jadi, aku dijatah satu hari makan dua kali saja. Makan yang kudapatkan itu pun terkadang sisa dari anak-anak majikan. Bahkan jika rasa lapar mulai kurasakan, tak jarang jatah makan anjing milik majikan aku makan. Triknya, jatah dua kaleng nasi makanan anjing mesti aku lebihi tiga sampai empat kaleng. Tapi bukan masalah itu yang aku takutkan. Ketakutanku justru akan ulah Tan Tjeng Bok yang berani mencolak-colek diriku. Jujur, untuk menolaknya aku takut sekali. Dan ketakutanku akan ulah majikan itu tak bisa kuadukan ke siapa-siapa. Kepada siapa aku harus mengadu? Aku ini orang yang jauh dari rumah. Aku takut jika nantinya aku dibunuh majikan jika kutolak ulahnya. Saat aku diam dan tak pernah mengeluh, aku diperkosanya dalam tekanan batin hingga aku hamil. Kehamilanku itu nyatanya tak pernah kuutarakan kepadanya atau kepada anak-anaknya. KehamiIan itu kurahasiakan rapat-rapat dengan samaran baju yang aku kenakan. Baju ekstra besar, aku anggap sudah cukup untuk menutupi perutku yang mulal membuncit.
Lelah dengan keadaan itu, pagi hari, seperti biasa kumulai aktivitas dengan menyirami tanaman di depan rumah. Saat itulah, aku melihat seorang agen datang bersama seorang TKW yang seumuran denganku. Aku sempat berpikir, apakah majikan memerlukan pembantu rumah tangga lagi? Belum sempat pertanyaan itu terjawab, agen memberitahukan kepadaku jika aku ini bermasalah dan harus pulang ke tanah air. Ucapan sang agen aku anggap sebagai malaikat maut. Padahal, aku sudah merencanakan akan melahirkan anakku di Malaysia. Jika terlahir, anak ini bisa aku berikan kepada seseorang atau kutitipkan ke rumah sakit. Yang terpenting, aku masih bisa merencanakan untuk tidak melahirkan di kampung halaman. Namun ucapan agen sontak membuyarkan rencana itu. Dengan hati hancur clan segudang kemelut di otak ini, aku terpaksa pulang ke tanah air dengan kandungan berusia enam bulan.
Dugaan bahwa suami akan marah besar terbukti juga. Ketika pulang, bukan simpati dan ucapan terima kasih yang aku dapat. Cacian, hinaan dan sumpah-serapah justru yang kudapat dari suami sendiri. Ya Tuhan, padahal semua ini kulakukan hanya untuk menutupi hutang-hutang suamiku. Mau tidak mau, perjalanan enam bulan hingga pasca melahirkan, kulakukan seorang diri. Dan pada usia kehamilan tujuh bulan, dengan terpaksa aku membangun sebuah rumah dengan uang yang aku dapat selama di Malaysia. Dua belas juta rupiah, itulah uang yang aku hasilkan. Tapi, uang itu sekarang tinggal enam juta rupiah. Karena sisanya aku gunakan untuk membangun rumah dekat dengan orang tuaku. Kendati bentuk rumah tersebut sederhana, tak apalah, toh aku bisa menikmati nantinya. Namun anehnya, rumah yang kubangun dari jerih-payahku sendiri tak bisa kunikmati. Mas Rianto melarangku untuk masuk ke dalam rumah. Alasan ia mengultimatum diriku untuk tidak masuk ke dalam rumah karena merasa jijik dan malas untuk mengurus diriku lagi. Jadi, rumah yang kubangun dari uangku sendiri, dikuasai olehnya. Bahkan ketika bayi yang kuberi nama Agung ini lahir, Mas Rianto mengancam akan membunuhnya. Sekarang bayi ini sudah berusia dua bulan. Dan hingga sekarang ini, ancaman untuk melenyapkan Agung masih saja terngiang di telingaku. Aku sempat mendapat saran untuk bercerai. Namun suami tidak mau menceraikan diriku. Padahal, aku sudah tersiksa lahir dan batin, Mas Rianto tetap dengan pendiriannya.
Untuk menutupi semua itu, hari demi hari aku jalani dengan berjualan sayur-mayur bersama ibu. Lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ibu seringkali melarangku untuk bercerai. Alasannya, isu yang didengar ibu, jika sang istri mengadukan cerai kepada suami, maka istri harus membayar denda sebesar dua puluh juta rupiah kepada suami. Karena alasan itu pula, tak jarang ibu turut merasakan yang aku rasakan. Begitulah hari-hari yang aku jalani. Sebagai seorang ibu dan perempuan, aku bertanggung jawab penuh untuk mencari nafkah bagi anak-anakku karena suami yang kuandalkan sudah lepas tangan untuk mengurusinya.
Seiring dengan bertambahnya usia Agung, aku menyadari besarnya kebutuhan untuk mengantarkannya kelak menjadi manusia yang berpendidikan. Aku ingin, kelak, Agung bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Namun, hal itu rasanya mustahil diwujudkan jika melihat taraf kehidupan rumah tangga kami saat ini. Beberapa kali aku mendiskusilkan hal itu dengan ibu. Penghasilan menjual sayur-mayur seperti aku terlalu kecil untuk mewujudkan cita-cita tinggi. Ya, ibarat pungguk merindukan bulan. Aku sempat berpikir untuk memiliki sumber penghasilan lain, di samping berjualan. Soalnya, dengan maraknya penjual sayur keliling, praktis aku hanya bisa memetik keuntungan tak begitu banyak. Biasanya aku bisa merasakan keuntungan empat bulan sekali. Itu pun belum tentu selalu menyisakan untung.
Ada beberapa alternatif yang memungkinkan untuk aku jalani, tapi aku tak berani mewujudkannya. Yakni kembali menjadi TKW lagi. Keadaan ini semakin mendesak seiring meningkatnya kebutuhan Agung dan Afrizal, yang sebentar lagi kebutuhan pendidikannya mulai naik. Sebab, di atas kertas jika menghitung rupiah yang nantinya bisa aku hasilkan dari menjadi TKI, aku berharap, bisa menjadi investasi jangka panjang yang hasilnya bisa untuk mewujudkan cita-cita anakku nantinya. (Seperti dituturkan Roesmini kepada Roy Pujianto)R.26
Sumber : Majalah Fakta No. 561
Sumber : Majalah Fakta No. 561