Bumi Makin Panas

Setiap waktu libur kerja hari Minggu, ia kebanjiran ’order’ dari para lelaki bule yang mengajaknya kencan. Itu lantaran ia pasang ”susuk” tidak hanya di keningnya saja tapi juga di pipi, dagu, buah dada, pantat dan kemaluannya !

Enam tahun yang lalu, Painem seperti kebanyakan buruh migran Indonesia lainnya yang masih polos. Ia nekad pergi merantau ke negeri orang dan meninggalkan kampung halaman, orangtua serta sanak-saudara tercinta demi perbaikan ekonomi keluarganya yang berada di bawah garis kemiskinan. Apalagi hampir semua teman sebayanya di desa banyak yang sukses sepulang dari merantau bekerja ke luar negeri. Mereka bisa membangun rumah, beli sepeda motor atau mobil serta buka usaha dengan modal tabungannya selama di perantauan.

Ditambah lagi Painem selama ini memang menjadi tulang punggung keluarga. Pasalnya, sejak ia berumur 10 tahun bapaknya sudah pergi untuk selama-lamanya. Ia punya 5 adik yang masih kecil-kecil dan seorang ibu yang sakit-sakitan karena mengidap penyakit TBC. Maka, dengan semangat yang luar biasa dan tekad yang bulat, Painem pun pergi meninggalkan ibu dan adik-adiknya ke Jakarta masuk penampungan sebuah perusahaan pengirim TKW (tenaga kerja wanita) ke luar negeri. Keberangkatannya ke tempat penampungan TKW itu tentu saja melalui seorang calo atau sponsor alias petugas lapangan (PL).

Sebelumnya Painem adalah sosok gadis desa yang lugu yang tidak terjamah oleh gaya hidup kota. Painem yang saat itu tidak tahu apa-apa hanya bisa menatap kosong, menggeleng dan mengangguk setiap kali diberi pertanyaan. Untuk bisa masuk ke tempat penampungan TKW dan kemudian diberangkatkan ke Hongkong, semua identitas Painem pun dipalsukan oleh si calo, sebut saja namanya Bandi. Paimen yang hanya lulus SD dirubah menjadi lulus SMP. Umurnya yang masih 17 tahun diganti menjadi 25 tahun. Untuk jasa pengurusan dan ‘salon’ identitas ini, kepada setiap orang calon TKW, Bandi minta uang Rp 500.000. Dan, uang sejumlah itu, sangatlah mustahil bisa dipenuhi oleh Painem karena penghasilan ibunya per hari hanya Rp 15 ribu.

Di tengah kekalutan dan kegundahan hati Painem untuk bisa mendapatkan uang Rp 500.000,- itu Bandi mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bandi mengajukan 2 pilihan kepada Painem yaitu tidak usah bayar Rp 500.000,- asal mau ‘meladeninya’ atau namanya dihapus sehingga batal diberangkatkan ke Jakarta untuk ditampung di tempat penampungan calon TKW. “Kerja di luar negeri itu sungguh enak lo Nem, kamu bisa membahagiakan ibu dan adik-adikmu,” kata Bandi kepada Painem saat itu. Padahal itu tak lebih hanya rayuan Bandi saja untuk memuluskan niat busuknya. Tidak ada pilihan bagi Painem waktu itu, apalagi semua surat sudah diurus oleh Bandi, jika ia menolak pasti Bandi akan meminta ganti atas semua biaya yang sudah dikeluarkannya tersebut. Hingga terpaksa Painem pun merelakan kegadisannya kepada Bandi.

Di tempat penampungan, Bandi memang dikenal sebagai calo TKW yang sangat bejad. Terbukti tidak hanya kepada Painem saja Bandi melakukan perbuatan yang biadab itu melainkan juga kepada Painem-Painem lainnya, dengan iming-iming akan diberangkatkan bekerja ke luar negeri. Setiap malam berada di tempat penampungan bagi Painem adalah ‘penjara’ dengan segala peraturannya yang ketat. Painem selalu berdoa supaya bisa cepat turun ’job’ kerjanya dan sesegera mungkin terbang ke Hongkong. Dia sudah tidak tahan, hanya air mata yang bisa menjawab segala kepahitannya jika ingat kelakuan Bandi kepadanya. Peristiwa itu tak akan pernah terlupakan seumur hidupnya. Painem tak ingin ibu dan adik-adiknya tahu apa yang telah dialaminya. Kalau sampai tahu sama saja dengan menambah beban penderitaan ibunya. Entah, sudah berapa banyak air matanya yang tumpah, Painem harus menanggung derita sendirian.

Tahun 2003, Painem menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di negeri beton, negerinya Andy Lau, Hongkong. Keberuntungan berada di pihak Painem saat itu. Bersyukur ia mendapatkan agency dan majikan yang baik dan mendapatkan gaji penuh serta mendapatkan hak libur tiap minggunya. Awal pertama bekerja tidak ada kendala yang berarti, majikan Painem sangat sayang dan sabar sekali kepada Painem. Pelan-pelan Painem diajarkan bagaimana cara kerja, kebiasaan keluarga majikannya, cara memasak dan juga bahasa Kanton. Tahun pertama bekerja, Painem sudah pintar, dia sudah bisa beradaptasi dengan majikannya, lingkungannya dan teman-teman senasib jika ketemu di pasar. Pada tahun kedua, Painem sudah bisa beli HP dan tidak pernah lupa mengirim uang ke kampung halamannya setiap bulan. Masa-masa sedih waktu Painem hidup di desa, juga tragedinya dengan Bandi, seolah sudah hilang dalam ingatannya.

Pada tahun ketiga, pergaulan Painem semakin luas. Maklum, itu karena Painem tiap minggu libur. Pada tahun ini juga Painem pun rupanya ”jatuh hati” sama Suk Suk (sebutan untuk laki-laki tua di Hongkong) yang bekerja sebagai satpam apartemen rumah majikannya. Awalnya, main mata terus tukeran nomor HP, setiap kali Painem keluar-masuk apartemen selalu dibukakan pintu lift. Painem sudah banyak berubah, dia sudah bukan gadis desa yang lugu lagi. Sejak keperawanannya direnggut Bandi, Painem seolah memendam benci dan sakit hati terhadap kaum Adam (laki-laki). Tapi, sekarang, Painem berkuasa atas dirinya. Setiap kenalan dengan laki-laki Painem tidak mengaku namanya yang asli melainkan Paula. ”Panggil saya Paula,” kata Painem kepada Suk Suk dan laki-laki lainnya.

Paula pun pacaran dengan Suk Suk. Berkali-kali mereka kencan, masuk hotel satu ke hotel lainnya. Suk Suk sangat baik kepada Paula, segala permintaan Paula dituruti, termasuk mengirim uang ke ibunya untuk biaya masuk rumah sakit. Paula semakin terlena, dia makin asyik dengan dunianya. Setiap kali libur kerja dia selalu masuk ke klub atau diskotik di Wanchai, yang memang dikenal tempat pelesiran malam di Hongkong. Ia pun jatuh ke pelukan laki-laki bule secara bergantian.

Memang, dalam kurun waktu tiga tahun, keluarga Painem di desa telah berubah menjadi orang kaya. Rumahnya yang dulu reot berubah jadi tembok berpagar tinggi. Rumahnya yang dulu beralaskan tanah berubah jadi keramikan. Painem pintar menyimpan rahasia, apa saja yang telah dilakukannya di Hongkong, orang di rumah tidak ada yang tahu sama sekali. Tahun 2007, Painem pulang cuti ke kampung halaman. Setibanya di Hongkong lagi Paula alias Painem pun kembali menjadi idola para laki-laki bule di diskotik Wanchai. Setiap waktu libur kerja hari Minggu, ia kebanjiran ’order’ dari para lelaki bule yang mengajaknya kencan. Itu lantaran saat pulang cuti ke kampung halaman ternyata Painem pergi ke seorang dukun di desanya di Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Painem pasang ”susuk” untuk keberuntungan dirinya di Hongkong. Menurut pengakuan Painem, ia pasang ”susuk” tidak hanya di keningnya saja tapi juga di pipi, dagu, buah dada, pantat dan kemaluannya !

Makanya, tidak heran jika Painem jadi makin menarik, pesona yang dipancarkannya ternyata bukan alami melainkan buatan mbah dukunnya tadi. Pantesan Painem juga semakin disayang oleh majikannya, apalagi majikan laki-lakinya jadi makin perhatian kepadanya. Pokoknya, setiap hari Minggu, Painem selalu menjadi pusat perhatian, khususnya dari kaum laki-laki. Sampai-sampai ada beberapa temannya yang iri melihat kehidupannya yang berubah drastis. Painem kini punya segalanya. Punya laptop merek terbaru, HP 3G, tabungan yang jumlahnya ratusan juta rupiah, segala macam perhiasan, baju dan celananya pun semua merek terkenal. Apa saja yang diminta ibu dan kelima adiknya, Painem dengan gampang meluluskannya.

Tapi, itulah manusia, yang selalu merasa kurang dan kurang, lupa bersyukur atas semua yang telah didapat ! Seperti Painem, semua yang sudah didapat selalu dirasakan kurang dan kurang, sampai-sampai ia pun ”banting setir”. Setiap ada acara atau even yang digelar oleh beberapa organisasi di Hongkong, misalnya lomba dancer, lomba fashion, lomba miss-missan, lomba cover majalah, lomba karaoke dan sebagainya, Painem tak pernah absen. Dia selalu mendaftarkan diri agar bisa menang dan jadi makin terkenal. Padahal Painem harusnya sadar diri, walaupun dikaruniai wajah yang cukup cantik tapi otaknya tidak begitu cerdas, suaranya pun pas-pasan. Pertanyaan dari juri lomba sering dipikirnya baru dijawab, itu pun salah. Tapi bukan Painem kalau mau menyerah begitu saja ! Ia pun segera menghubungi beberapa dukun untuk membantunya. 
Bagaimana hasilnya ?

Dunia bagaikan roda yang berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Itulah yang dialami Painem. Sekarang Painem dalam keadaan ”sekarat”. Penyakit gatal-gatal menyerang tubuhnya. Cairan kuning kental dan berbau busuk pun keluar dari kemaluannya. Uang tabungannya pun habis untuk biaya berobat. Namun penyakitnya tak kunjung sembuh. Majikannya yang dulu sangat sayang sekarang berubah jadi jahat. Apa yang dilakukan Painem selalu salah di mata majikannya. Sedangkan ibunya juga meratapi nasibnya. Setelah dinyatakan sembuh dari TBC-nya, ibu Painem mengikuti jejak anaknya, Painem. Dulu pakai jarit atau daster kini pakai blues dan rok mini. Bahkan ibunya juga menjalin cinta dengan laki-laki bajingan yang menguras harta bendanya.

Painem kini sudah benar-benar merasa jadi sampah. Bule-bule yang dulu memuja-mujanya, mengagumi kemolekannya dan goyangannya, kini satu per satu pergi menjauhinya. Ada satu bule yang bernama John malahan meminta kembali laptop merek Acer dan Iphone pemberiannya dulu kepada Painem. Dulu saat Painem ”berjaya” banyak teman yang mendekat dan sekarang saat Painem susah dan butuh pertolongan teman-temannya pada menjauh pula. Tubuh Painem kurus kering, kelopak matanya cekung dan pekat. Pantatnya penuh dengan luka bekas garukan. Apa semua ini karena susuk yang dipakainya, Painem pun tidak tahu. Sungguh mengerikan !

Saat menceritakan pengakuannya ini Painem sudah berada di tengah-tengah keluarganya di Gunung Kidul. Semoga cepat sembuh, bersegeralah mohon ampunan-Nya, perbanyaklah doa dan sucikanlah dirimu, Painem. (Seperti dituturkan Painem kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 557 Edisi Agustus 2010

Related Posts
Previous
« Prev Post

Comments