Sebetulnya sebutan bodoh lebih ditujukan kepada orang yang mempunyai keterbatasan pengetahuan/ wawasan dibandingkan orang lain dengan kapasitas yang setara. Artinya, orang bodoh bisa didevelop menjadi orang pandai dengan cara mengajari/ mendidiknya, didukung dengan kemauannya untuk belajar dan keinginan untuk mentas dari kebodohan.
Tapi kebodohan bukan cuma soal kemampuan otak menyerap ilmu yang diajarkan. Kebodohan juga bisa terlihat dari perilaku/ mental seseorang dalam menyikapi sebuah situasi yang sebetulnya disadari salah, tapi dilakukan juga.
Kebodohan dari segi ilmu bisa diberantas dengan pendidikan, tapi kebodohan perilaku butuh sanksi/ hukuman untuk membuat si pelaku “kembali ke jalan yang benar”, walaupun cara itu tak selalu ampuh.
Bahkan Einstein mengatakan, "Perbedaan antara bodoh dan jenius adalah bahwa jenius ada batasnya".
Berikut ini 10 kebodohan yang kita lakukan dengan sengaja dalam kehidupan sehari-sehari:
1. Malas
Malas bisa disebabkan 2 hal, yaitu karena keadaan (capek atau ngantuk)
dan karena bawaan dari lahir (watak). Peribahasa Jawa mengatakan, "
Watuk iso diobati, watak angel obate" (batuk bisa diobati, watak susah
obatnya).
Kemalasan adalah musuh utama kesuksesan. Setiap orang ingin dirinya sukses, tapi tak mau berusaha mengoptimalkan kemampuannya demi meraih kesuksesan itu. Alih-alih mengoptimalkan, bertindak saja enggan. Kebodohan ini diperburuk dengan memanjakan pemikiran-pemikiran negatif yang menggembosi kemauan untuk maju.
2. Merokok
Berbagai cara telah ditempuh pemerintah, lembaga-lembaga kesehatan, maupun perorangan yang peduli kesehatan untuk menggugah kesadaran masyarakat, bahwa merokok berakibat buruk bagi kesehatan, tak hanya dirinya, tapi juga orang di sekitarnya. Tapi jumlah perokok kabarnya terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan sudah merambah ke konsumen usia belia.
“Kalau perokok berhenti merokok, bagaimana nasib para buruh pabrik rokok dan keluarganya?!”, begitu biasanya para perokok berkilah, tanpa sadar kalau ia melakukan 2 kebodohan sekaligus. Pertama karena ia merokok padahal tahu kalau merokok berbahaya. Kedua, ia lebih memikirkan nasib para buruh pabrik rokok dan keluarganya, tapi keluarganya sendiri ia abaikan dengan ”membakar uang” untuk dinikmati sendiri.
3. Membuang sampah sembarangan
Banjir di perkotaan, siapapun tahu, penyebabnya adalah sampah yang menyumbat drainase. Pemerintah membangun drainase sebagai bagian dari infrastruktur wajib. Gunanya agar air mengalir lancar. Dan ketika ditemukan timbunan sampah di drainase, dapat diduga dengan mudah bahwa sampah sengaja di buang ke situ atau dibuang sembarangan di pinggir jalan dan saat hujan turun, sampah hanyut ke drainase, lalu ke sungai.
Tak perlu tunjuk hidung siapa pelakunya. Yang jelas, ia/ mereka pasti punya wawasan tentang etika membuang sampah, tapi tak cukup punya kepandaian menerapkannya.
4. Menerobos lampu merah
Menurut pengamatan MP2, pelanggar lampu lalu lintas (traffic light) di dominasi oleh pengendara sepeda motor. Alasannya bukan karena jumlah sepeda motor jauh lebih banyak, tapi karena kendaraan roda dua itu bisa bermanuver lebih lincah.
Meskipun pelajaran berlalu-lintas tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah ataupun saat ujian mendapatkan SIM (karena biasa dilakukan lewat “pintu belakang”), tapi anak kecilpun tahu bahwa rambu-rambu lalu-lintas (termasuk traffic light) dipasang untuk dipatuhi dan jika melanggar akan mempunyai konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Belum lagi konsekuensi luka-luka jika saat itu terjadi kecelakaan.
Lalu kenapa masih saja ada yang melanggar? Jawabannya mudah: kebodohan. Lebih bodoh lagi jika saat melanggar, ia membonceng anak-anak. Itu artinya anak-anak mendapatkan ilmu kebodohan sejak dini dan jangan heran jika generasi mendatang akan menjadi sama bebalnya dengan kita saat ini.
5. Mengemudi dalam keadaan mabuk
Mengemudi kendaraan butuh konsentrasi dan akal sehat yang benar-benar walafiat, sementara mabuk adalah kondisi di mana seseorang kehilangan sebagian atau sepenuhnya konsentrasi/ kesadaran dan akal sehat. Dengan kata lain, saat mabuk orang menjadi tak berakal.
Orang pandai sekaligus bijak tak akan menggabungkan kedua kondisi yang bertolak belakang itu dalam satu waktu yang bersamaan karena ia punya kecerdasan yang lebih untuk mempertimbangkan resikonya.
6. Mengemudi sambil bertelepon/ sms
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Mengemudi kendaraan butuh konsentrasi dan akal sehat yang benar-benar walafiat. Di lain pihak, menelepon atau ber-sms-an juga butuh konsentrasi. Jika kita melakukan dua kegiatan sekaligus yang sama-sama butuh konsentrasi, apa yang terjadi?
Jika diibaratkan makanan, soto Madura enak rasanya. Pizza pun tak kalah lezat. Jika keduanya dicampur, akankah jadi lebih nikmat?
7. Mengkonsumsi narkoba
Alasan orang mengkonsumsi narkoba yang paling umum karena efeknya yang menimbulkan rasa “tenang” dalam pikiran atau sebaliknya, mendongkrak rasa percaya diri. Itulah kenapa pada umumnya, para pengguna narkoba adalah orang yang sedang menghadapi masalah.
Dapat dipastikan, orang jatuh ke pelukan narkoba setelah dihadapkan pada berbagai pilihan dalam menentukan sarana untuk menenangkan diri atau lebih bersemangat. Artinya, pelaku dalam keadaan sadar saat menentukan pilihannya. Artinya lagi, ia tahu ada alternatif lain yang lebih positif yang sebetulnya bisa dijadikan “obat” penawar masalah, tapi tak dipilihnya.
8. Korupsi
Ini adalah kebodohan paling populer belakangan ini. Sudah banyak kasus korupsi dengan beragam modus yang berhasil dibongkar aparat berwenang dan diberitakan secara luas media masa, tapi entah kenapa terus saja bermunculan orang yang melakukan perbuatan curang yang disimbolisasikan dengan tikus ini.
Ironisnya, pelaku korupsi adalah orang-orang yang berada dalam posisi terhormat yang secara ekonomi berkecukupan. Seolah tak pernah ada kata cukup untuk mengejar harta dunia, padahal seharusnya ia tahu itu semua tak dibawanya ke liang kubur. Sebaliknya, harta jarahan hasil korupsi, cepat atau lambat, akan mengantarnya ke balik jeruji besi.
Yang menanggung derita bukan hanya dirinya sendiri, tapi seluruh keluarganya. Mereka harus membawa aib itu sepanjang hidup mereka.
9. Melakukan kejahatan/ kriminal
Konsekuensi atas tindak kejahatan seperti menipu, mencuri, merampok, memperkosa, dan membunuh tak hanya ditanggung saat hidup di dunia yang berupa hukuman penjara sampai hukuman mati. Dari sisi agama, tindak kejahatan juga harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan di hari akhir kelak.
Para pemuka agama tak pernah lelah mengingatkan umatnya tentang kebaikan yang wajib dilakukan dan keburukan yang harus dihindari. Tempat-tempat ibadah pun tak pernah sepi pengunjung. Secara logika, orang jadi akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan atas orang lain, tapi anehnya aksi kejahatan tak malah surut. Justru modusnya makin beragam, sejalan dengan kemajuan teknologi.
Apa namanya jika kita sudah berkali-kali diingatkan untuk tidak melakukan, tapi tetap saja melakukan?
10. Selingkuh
Selingkuh merupakan salah satu perbuatan penistaan terhadap nilai-nilai perkawinan dan keyakinan. Saat acara ijab kabul, pasangan yang menikah saling berjanji untuk saling setia kepada pasangan masing-masing di hadapan penghulu, orang tua dan kerabat. Dan pastinya di hadapan Tuhan. Itu yang semestinya dipahami, diresapkan dan dijadikan pegangan dalam mengarungi rumah tangga.
Selingkuh terjadi melalui sebuah proses, mulai dari main mata, naik peringkat ke main hati dan mencapai final saat main ranjang. Dalam sebuah proses pastilah selalu tersedia waktu untuk menimbang-nimbang benar atau salah tindakan yang diambilnya. Saat orang menapaki setiap level tanpa merasa perlu berpikir kalau itu salah, padahal ia tahu itu salah, ia telah melakukan satu paket kebodohan yang terdiri dari pengkhianatan, kebohongan, dan degradasi moral.
Ia akan mendapatkan 1 bonus status kebodohan lagi jika saat perselingkuhannya terbongkar, ia mengatakan “Aku khilaf”. Khilaf diartikan sebagai bentuk penyesalan atas kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja atau di luar kesadarannya. Bukankah dalam suatu perselingkuhan selalu ada trik-trik atau strategi yang dirancang agar perselingkuhan berjalan mulus? Bukankah untuk merancang trik atau strategi dibutuhkan otak? Bukankah otak untuk berpikir? Bukankah saat berpikir, seseorang dalam keadaan sadar? Lalu di mana letak khilafnya?
Nah.
Tak perlu jadi seorang profesor untuk tidak melakukan kebodohan-kebodohan tersebut. Yang dibutuhkan adalah sedikit sikap bijak dan akal sehat yang selalu mengingatkan kepada kita, bahwa jika itu kita lakukan, maka kita tak lebih mulia dari hewan.
Bagaimana caranya menumbuhkan sikap bijak? Salah satunya adalah dengan memupuk rasa malu dan bersalah.
(mp2)