Antara Cinta dan Dosa

Lepas tengah malam, tiba-tiba HP-ku berbunyi,”Tit... tit... tit ...” Sebuah pesan singkat berbunyi,"Yang, aku kangen banget sama kamu". Gombal, bisik hatiku sambil tersenyum kecut. Bagaimana mungkin Raffael bisa mengirim SMS demikian jika kemarin baru saja kencan denganku? Tetapi SMS itu tidak urung membuatku bahagia. Hatiku seperti tersanjung dan berbunga-bunga. Bayang-bayang wajah ganteng Raffael seolah terus menari di pelupuk angan dan lamunanku. "Gombal, bukankah kemarin kita baru bertemu?" jawabku via SMS juga. "Tidak sayang, aku nggak ngegombal. Suer, aku ingin sekali kamu berada di sisiku setiap waktu," cepat sekali Raffael membalas SMS-ku.

Duh, Gusti..., hatiku serasa meleleh. Kulirik suamiku, Arman, telah tidur pulas di sampingku. Sepintas, kuperhatikan Mas Arman dengan seksama. Tidurnya tampak damai sekali. Mungkin sudah dibuai mimpi-mimpi indah. Mungkin saja. Diam-diam aku telah merasa berdosa dengannya. Dengan Mas Arman. Dia telah berbuat banyak untuk keluarga. Untukku, dan untuk anak-anak kami pula. Mas Arman memang telah berbuat banyak. Sedang aku? Perasaan berdosa itu kembali menyelinap ke benakku yang paling dalam. Terus terang, Mas Arman memang lelaki yang tidak pernah aku cintai. Perkawinanku dengannya semata-mata hanya untuk memuaskan hati orangtua. Orangtuaku melihat Mas Arman lebih mempunyai masa depan, ketimbang Raffael yang "hanya" seorang pelukis itu. Orangtuaku “mengharamkan" kehadiran Raffael di hatiku, dan terus berusaha menyingkirkannya dari hidupku.

"Apa yang bisa kamu harapkan dari seorang pelukis seperti Raffael itu?" Ribuan kali ungkapan demikian meluncur dari bibir orangtuaku. "Jika kamu masih nekad jalan bareng sama dia, lebih baik kami kehilangan kamu!" Ultimatum itu membuatku yang nyaris tidak pernah kesulitan akhirnya keder juga. Ketakutan itu pula yang membuatku luluh. Dengan berat hati, terpaksa aku terima kehadiran Mas Arman sebagai suami "pilihan orangtua". Kami pun mulai membangun rumah tangga, dan aku berusaha mati-matian untuk melupakan Raffael. Tetapi prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Lama sekali, baru aku bisa melupakan lelaki yang amat aku cintai dengan sepenuh hati itu.

Setelah perkawinanku dengan Mas Arman, Raffael sendiri seperti hilang ditelan bumi. Aku tidak tahu, di mana rimbanya si jantung hatiku itu. Tetapi kemudian aku memperoleh kabar dari beberapa kawanku, yang mengatakan Raffael nekad belajar melukis di luar negeri. Kabarnya, dia pergi ke Belanda setelah beberapa lama berkesenian di Pulau Dewata, Bali. Lama-lama memang aku berhasil melupakan Raffael. Aku pun mulai belajar mencintai keluargaku. Mencintai suami, dan tentu juga anak-anakku. Hidupku sepenuhnya aku persembahkan kepada mereka. Aku telah berjanji dalam hati untuk tidak akan mengecewakan mereka. Orangtuaku aku kira tidak salah memilih Mas Arman sebagai suamiku. Dia tidak saja baik, tetapi juga amat bertanggung jawab pada keluarga. Pekerjaannya pun sangat mapan. Perusahaan papa yang dikendalikan Mas Arman, makin hari makin menunjukkan eksistensinya. Papa dan mama pun puas sekali dengan hasil pekerjaan Mas Arman. Keberhasilan Mas Arman dalam mengelola sebagian usaha orangtuaku, sering kali membuatku ikut-ikutan merasa tersanjung. Perasaan ini mencuat, ketika papa memuji-muji Mas Arman. Bahkan, Mas Arman pun sering kali dijadikan tauladan buat memacu adik-adikku. "Contoh itu Masmu, Arman, kalau bekerja nggak pernah setengah hati". Demikian antara lain celetukan papa atas pujiannya pada suamiku di hadapan adik-adikku.

Ketika aku sudah hampir bisa melupakan Raffael, pertemuan tak terduga tiba-tiba terjadi. Suatu hari, iseng-iseng aku melihat sebuah pameran lukisan di Balai Pemuda, Surabaya. Bukan pameran lukisan tunggal, melainkan pameran lukisan bersama, ada sekitar tujuh orang pelukis yang berpameran. Mereka masih sangat muda-muda. Mungkin, baru dalam proses "membuat" nama sebagai seorang pelukis profesional di jagad seni rupa. Kedatanganku ke pameran itu pun sebenarnya hanyalah iseng. Ketika jalan-jalan di Surabaya, secara tak sengaja aku melihat sebuah pamflet yang ditempel di salah satu sudut kafe tempatku bersantap malam. Pamflet itulah yang memberitahuku adanya pameran lukisan karya tujuh perupa muda. Karena aku sendiri memang suka dengan lukisan, kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Habis makan malam langsung saja aku ngeloyor pergi ke tempat pameran. Aku datang ke tempat pameran itu seorang diri. Nah, ketika sedang asyik-asyiknya menikmati sebuah lukisan yang menurutku cukup bagus, tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Aku terkejut, dan secara spontan langsung menoleh ke belakang. Tatapan mataku terbelalak. Aku tak percaya, kalau yang berdiri di hadapanku itu adalah Raffael, lelaki yang pernah singgah di hatiku. Raffael masih seperti yang dulu. Ketika aku mengucek mata dengan jari tanganku, tiba-tiba dia pun nyeletuk,"Kamu tidak sedang bermimpi, Yang … ini benar-benar aku, Raffael".

Ah, lelaki itu seperti tahu apa isi hatiku. Memang, pertemuan yang tak terduga-duga itu, aku kira hanyalah mimpi. Hampir-hampir aku tak mempercayainya. Sulit sekali bagiku untuk percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Bukan mimpi ataupun ilusi. Kami pun melewatkan pertemuan yang tak terduga-duga itu dengan ngobrol di salah satu sudut ruangan tempat pameran. Raffael menanyakan keadaanku sekarang, juga anak-anakku dan keluargaku. "Wah, tampaknya kamu bahagia sekali, ya," celetuk Raffael setelah bertanya-tanya tentang keluargaku. "Syukurlah kalau begitu, aku ikut bahagia," lanjutnya kemudian.

"Kamu sendiri, bagaimana? Berapa anakmu?" aku pun balik bertanya. Raffael tak segera menjawab. Dia hanya tertawa. "Aku masih jomblo hingga sekarang. Siapa yang mau kawin dengan seniman kayak aku begini?" kata Raffael membuat hatiku mendadak berdesir. Tiba-tiba aku pun teringat penghinaan orangtuaku terhadap Raffael. "Pelukis seperti Raffael itu tak punya masa depan," kata-kata papa kembali mengiang di telingaku. Aku pun buru-buru berusaha menetralisir keadaan, dengan melemparkan sebuah pernyataan kepada Raffael,"Ah, kamu ini, sejak dulu selalu saja merendah. Itu karena kamunya saja yang nggak niat". Raffael malah tertawa-tawa mendengar pernyataanku itu. "Kamu ini masih tetap seperti dulu, ya, pinter sekali menghibur orang," sergah Raffael tak mau kalah.

Begitulah, sejak pertemuan itu hubunganku dengan Raffael diam-diam kembali terajut.Yang membuatku amat terkesan, Raffael benar-benar tipe lelaki yang sangat romantis. Benda-benda pemberianku semasa SMA dulu hingga kini masih disimpannya dengan rapi di sebuah tempat khusus. Termasuk surat-surat cinta dan puisi-puisi yang pernah aku tulis khusus untuk dirinya. Yang membuatku paling terkesan, di salah satu sudut kamarnya terpajang sebuah lukisan, yang menurutku bagus sekali. Lukisan seorang wanita telanjang dengan lekuk-lekuk tubuh yang sangat eksotis. Meski aku merasa tidak pernah dilukis telanjang oleh Raffael, namun wajah wanita dalam lukisan itu mirip sekali dengan wajahku. Terus terang, aku sangat terkejut ketika pertama kali melihat lukisan itu. Aku pun sempat bertanya-tanya, kapan Raffael melukis aku telanjang bulat seperti ini?

Rupanya, Raffael menangkap kegelisahanku. Dia pun segera berusaha menjelaskan dan minta maaf padaku. "Maaf, ketika aku melukis ini, yang muncul dalam inspirasiku adalah wajahmu. Jadi, begitulah hasilnya. Tetapi kalau kamu tidak suka, gampang kok, aku bisa membakarnya sekarang juga," ungkap Raffael. "Di bakar? Lukisan sebagus ini akan kamu bakar? Ah, jangan! Aku suka kok," tiba-tiba aku tidak sampai hati melihat Raffael seperti itu. "Tetapi kamu nakal! Penjahat kesenian," kelakarku dalam kunjungan pertama kaliku di kediaman Raffael itu. "Penjahat bagaimana?" Raffael penasaran dengan istilahku. "Kalau ada yang lihat dengan lukisan ini dan kebetulan kenal dengan aku, apa nanti mereka nggak bilang kalau aku telah menjadi model lukisan telanjangmu," jelasku, yang dengan mudah dimengerti Raffael. "Kalau begitu, sekalian saja kamu sekarang telanjang terus aku lukis, biar aku nggak dibilang penjahat kesenian. Ha ... ha ... ha..."

Canda kami berdua berlanjut. Entah bagaimana awalnya, Raffael tiba-tiba menjamah tubuhku. Dan, anehnya, seperti terkena pengaruh hipnotis, aku pun diam saja. Bahkan, sesekali aku pun memberikan pancingan-pancingan yang membuat Raffael menjadi geregetan kepadaku. Diam-diam, sejak pertemuan yang tak terduga-duga itu, aku sering membuat janji kencan dengan Raffael. Sejauh ini, aman-aman saja. Mas Arman yang terlalu sibuk dengan bisnisnya, nyaris tak punya waktu untuk memperhatikan aku. Walau demikian, kadang menyelinap juga kekhawatiranku. Bagaimana kalau Mas Arman sampai tahu perselingkuhanku ini? (Seperti yang dituturkan Larasati kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 569


Related Posts
Previous
« Prev Post

Comments