Di rumah kosong yang memang sangat sepi itu akhirnya kami melakukan perbuatan terlarang yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri.
Namaku Marni. Aku dibesarkan dari sebuah keluarga yang cukup bahagia. Meski gaya hidup keluarga kami sederhana tapi aku dan kedua adikku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Kedua orangtua kami adalah orang-orang yang cukup ulet dalam bekerja dan senantiasa mengajari kami nilai-nilai agama yang kokoh, agar kelak bisa kami jadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Sejak duduk di bangku SD, aku bercita-cita ingin menjadi perawat dan bekerja di rumah sakit. Tidak mengherankan jika sedang bermain dengan teman-teman, aku selalu memerankan diri sebagai seorang perawat. Selain itu jika di sekolah ada perayaan tujuh belasan dan kami diwajibkan berpawai dengan memakai kostum tertentu, aku memilih kostum berwarna putih dengan tutup kepala bertanda palang merah.
Cita-cita itu terus terbawa sampai aku duduk di bangku SLTA. Sayangnya setelah lulus SLTA aku tidak melanjutkan ke sekolah perawat, aku malah ingin bekerja. Pada saat bersamaan, aku mulai dilanda jatuh cinta pada salah seorang tetanggaku. Rumah kami memang berdekatan dan aku tidak pernah mengira akan jatuh cinta kepadanya. Nama pria itu Darman. la kakak kelasku di SLTA. Orangnya pendiam dan berwajah cukup ganteng. Sifat pendiam dan wajah ganteng itulah yang agaknya membuat jantungku selalu berdebar setiap berdekatan dengannya.
Tak kusangka Darman pun memendam rasa yang sama dengan diriku. Singkat kata, kami berdua kemudian berpacaran.
Berbeda dengan aku, Darman melanjutkan sekolah ke sebuah akademi di kota lain. Karena itu otomatis kami hanya bertemu sebulan sekali, yakni saat ia pulang mengambil uang bulanannya. Karena aku sedang mencari kerja, dari salah seorang teman aku mendapat informasi bahwa Depnaker di Kota Solo, Jawa Tengah, kota tempat tinggalku, sedang mencari lulusan SLTA untuk dipekerjakan sebagai operator produksi di Pulau Batam. Tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku, aku memasukkan lamaran kerja. Sebab aku khawatir jika mereka tahu, pasti tidak akan mengijinkan aku pergi merantau. Ternyata di luar dugaan aku diterima di sebuah perusahaan perakitan barang elektronik, dan akan segera diberangkatkan dalam waktu beberapa minggu lagi. Tentu saja aku sangat bahagia. Namun di tengah kebahagiaan itu tiba-tiba terselip perasaan khawatir kalau kedua orangtuaku dan Darman tidak mengijinkan kepergianku. Apalagi Pulau Batam sangat jauh dari tempat tinggalku.
Sebelumnya aku tidak pernah pergi sejauh itu. Namun, karena tekadku sudah bulat, kuutarakan juga kepada kedua orangtuaku niat pergi bekerja ke Pulau Batam. Dan, seperti yang sudah aku duga, orangtuaku dengan serta-merta menolak dan tidak mengijinkan aku pergi dengan alasan aku masih terlalu muda untuk merantau. Tapi dengan gigih aku terus meyakinkan mereka bahwa kepergianku adalah demi kebaikan keluarga. Kukatakan pada mereka bahwa sebagian gaji yang kukirim nanti bisa dipakai untuk melanjutkan pendidikan adik-adikku ke sekolah yang lebih tinggi. Kedua orangtuaku sangat terharu dan dengan hati yang berat mereka mengijinkan aku pergi. Sama dengan kedua orangtuaku, awalnya Darman keberatan dengan rencana kepergianku. "Kalau hanya untuk mencari kerja kenapa harus jauh-jauh kesana? Di kota lain kan banyak juga pekerjaan," komentar Darman tentang rencana keberangkatanku. Tetapi Darman pun tak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa melepasku setelah kuceritakan panjang-lebar tentang niatku pergi ke Pulau Batam.
Kami menangis berpelukan ketika bis yang membawaku ke Jakarta (sebelum terbang ke Batam) mulai meninggalkan kota kelahiranku. Kedua orangtuaku dan adik-adikku juga tidak kuasa membendung tangis saat aku pamit. Dua tahun aku akan bekerja di Pulau Batam berarti selama itu pula aku tidak akan bertemu orang-orang yang aku cintai. Wajah bapak, ibu dan adik-adikku serta Darman, datang silih berganti meski aku telah menginjakkan kaki di Pulau Batam.
Hari-hari pertama bekerja, aku belum merasa betah dan rasanya ingin kembali ke Pulau Jawa. Terlebih saat aku menerima surat dari orangtuaku dan juga Darman, aku tidak berhenti menangis. Aku sangat merindukan mereka. Keadaan semacam itu berlangsung selama beberapa bulan. Untunglah kesibukan di tempat kerja dan kegiatan di luar cukup banyak sehingga sedikit demi sedikit aku mulai merasa terhibur. Aku mulai terbiasa dengan pola hidup di Pulau Batam. Selain itu, aku juga tetap setia pada Darman meski tidak sedikit teman-teman pria yang menaksirku dan terang-terangan menyatakan cinta kepadaku. Tapi bagiku tempat Darman tidak tergantikan oleh siapa pun, meski kami berjauhan. Terlebih surat-suratnya selalu datang silih berganti, memberi semangat tersendiri bagiku setiap aku merasa jenuh dengan suasana kerja yang monoton.
Tak terasa waktu dua tahun berlalu. Masa kontrak kerjaku telah selesai, itu berarti tiba saatnya aku kembali ke Jawa dan bertemu keluarga serta Darman. Namun saat aku bersiap-siap untuk pulang, aku memperoleh informasi bahwa aku termasuk salah satu karyawati yang dinilai baik prestasi kerjanya dan mendapat kesempatan untuk memperpanjang kontrak kerjaku. Akhimya aku menandatangani perpanjangan kontrak dengan pihak perusahaan. Meski demikian aku masih memperoleh kesempatan untuk pulang ke Jawa selama beberapa hari. Akhirnya hari yang kunanti itu tiba. Aku dan teman-teman satu angkatan pulang dengan kebahagiaan tiada tara.
Perjalanan dari Batam ke Jawa yang cukup melelahkan itu, tidak terasa lagi saat bertemu Darman dan keluargaku. Kupeluk mereka erat-erat. Darman yang kulihat semakin matang berkali-kali mengucapkan kata kangen di telingaku. Aku benar-benar bahagia. Hari-hari selama menunggu saat aku harus kembali ke Batam, kuhabiskan dengan banyak mengunjungi sanak-saudaraku dan tentu saja juga berjalan-jalan dengan Darman. Melihatnya sekarang aku semakin bertambah cinta dan sayang kepadanya. Aku ingin menghabiskan sisa hariku sebelum kembali ke Batam, dengan orang-orang yang kusayangi. Dua hari sebelum kembali ke Batam, terjadilah peristiwa yang seharusnya belum boleh kulakukan dan kelak akan mengubah jalan hidupku.
Saat itu seperti biasa, aku dan Darman jalan-jalan mencari buah tangan yang akan kubawa ke Pulau Batam. Tidak seperti biasanya, kami tidak langsung pulang melainkan singgah di sebuah taman yang di dalamnya terdapat rumah-rumah kosong. Ketika itu gerimis kecil mulai turun sehingga kami memutuskan untuk berteduh di salah satu rumah-rumahan itu. Mulanya kami hanya saling berpegangan tangan sambil ngobrol ke sana ke mari. Tiba-tiba Darman mencium pipiku dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai aku. Menurutnya selama aku pergi ia sangat tersiksa karena dilanda kerinduan yang dalam. Aku pun mencium pipinya. Saat kami masih bertatapan, kami berdua terus saja berciuman. Entah setan mana yang merasuki kami, di rumah kosong yang memang sangat sepi itu akhirnya kami melakukan perbuatan terlarang yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri. Aku menangis tersedu-sedu saat menyadari bahwa kami telah berbuat terlalu jauh. Darman yang tampak kebingungan hanya memelukku erat sambil menenangkan diriku. "Tidak akan terjadi apa-apa kalau kita melakukannya cuma sekali," bisiknya sambil tetap memelukku erat.
Kami berdua merasa gundah tapi segera bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sewaktu kami sampai di rumah. Padahal rasa nyeri di selangkanganku tak terperi rasanya, namun aku mencoba bersikap wajar. Tiba saatnya aku harus kembali ke Pulau Batam. Kali ini seperti dulu, saat mengantarku, orangtua dan adik-adikku saling bertangisan. Saat itu Darman nampak tak banyak bicara. Ia kembali menenangkan aku seraya membisikkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa padaku akibat hubungan terlarang yang telah kami lakukan.
Setibanya di Batam, ingatanku tetap melayang pada kejadian itu. Terkadang aku dibayangi ketakutan jika tiba-tiba aku mengalami kehamilan. Terlebih saat aku baca sebuah buku tentang kehamilan yang dulu pernah aku beli. Menurut buku itu, kehamilan bisa saja terjadi meski hubungan intim yang dilakukan cuma sekali. Ternyata Tuhan memang menghukumku karena perbuatan terlarang yang aku lakukan bersama Darman. Menstruasi yang biasa datang pada pertengahan bulan, tiba-tiba tidak datang. Aku mulai panik. Aku memberanikan diri bertanya pada perawat di klinik tempat aku bekerja perihal menstruasiku yang tidak datang bulan ini. Perawat yang memeriksa hanya mengatakan bahwa mungkin saja aku merasa kecapekan atau merasa tertekan sehingga hormon dalam tubuhku mengalami perubahan dan berakibat pada siklus menstruasiku. Lega rasanya aku mendengar penjelasan itu, namun hal itu tidak berlangsung lama. Sebab pada bulan berikutnya, aku kembali tidak mengalami haid. Kali ini bahkan diiringi dengan rasa mual dan sakit kepala seperti umumnya dialami perempuan yang tengah hamil.
Kepanikanku kian menjadi. Diam-diam aku membeli alat tes kehamilan yang dijual bebas di apotik untuk meyakinkan apakah aku hamil atau tidak. Hasilnya ternyata aku positif hamil ! Ya Tuhan ! Aku menagis histeris. Beberapa teman yang melihat kejadian ini ikut panik dan menganggap aku kesurupan seperti yang sering dialami operator di Batam karena merasa tertekan. Mereka memberiku air putih dan minyak kayu putih sembari memintaku beristighfar. Tetapi aku tetap menangis histeris sampai aku merasa capek sendiri dan tertidur. Setelah aku bangun, aku kembali menangis saat mengingat kenyataan bahwa aku tengah mengandung janin hasil hubunganku dengan Darman beberapa bulan lalu. Kepada teman-teman aku tidak mau terus-terang tentang kehamilanku. Pada mereka aku hanya mengatakan bahwa aku rindu keluargaku. Setelah itu hari-hari yang kulalui adalah hari-hari yang menakutkan seiring kian membesarnya janin dalam perutku.
Lewat surat kuberitahu Darman bahwa aku hamil dan tidak tahu harus berbuat apa dengan kehamilanku itu. Lewat suratnya juga, Darman tidak bisa memberi solusi dan hanya mengatakan ia juga bingung menghadapi persoalan tersebut. Teman-teman baik di asrama maupun di perusahaan tidak ada yang mengira kalau aku hamil, karena selama ini aku memang suka mengenakan pakaian yang extra size. Pernah aku coba menggugurkan kandungan itu dengan cara makan nanas muda dan beberapa ramuan, namun tidak berhasil. Janin itu tetap hidup dalam kandunganku dan terus membesar dari hari ke hari.
Sampai suatu ketika saat sedang bekerja, aku merasakan sakit yang teramat sangat pada perutku. Mungkin ini yang disebut orang kontraksi. Bergegas aku pergi ke toilet untuk melihat apa yang terjadi. Saat aku membuka celana dan bermaksud jongkok, tiba-tiba sesuatu seperti seonggok daging keluar diiringi dengan darah segar yang terus mengalir dari selangkanganku. Ya ampun, aku melahirkan ! Aku melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa didampingi ayahnya dan aku berjuang sendirian menahan rasa sakit yang teramat sangat. Aku menagis panik sambil tetap memegang jabang bayi yang berlumuran darah dan terdiam dengan kedua mata tertutup. Ya Tuhan, bayi yang kulahirkan itu ternyata sudah tak bernyawa lagi ! Aku panik dan takut, sekaligus sedih karena bagaimanapun juga ia adalah anakku sendiri. Darah dagingku sendiri, hasil hubungan cintaku dengan Darman, kekasihku. Namun dalam keadaan panik dan pikiran tak menentu itu, sebelum aku keluar dari toilet, masih sempat aku membersihkan darah yang terpercik di mana-mana. Di tengah kepanikan itu kubawa jabang bayi yang masih merah dengan sweater yang kupakai dan memasukkannya ke dalam kardus bekas. Setelah itu kubuang kardus berisi anakku yang sudah tidak bernyawa itu dengan harapan tidak ada orang yang bisa menemukannya. Aku menangis perih dan teringat bahwa aku telah berbuat dosa besar dalam hidupku.
Rupanya Tuhan memang benar-benar ingin menghukumku. Berawal dari penemuan sesosok mayat bayi dalam kardus dan berdasarkan penelusuran perempuan yang diduga melahirkannya, tidak sukar buat petugas kepolisian menjemput aku di asrama. Mereka berhasil menemukan aku dan mencurigai aku karena selang beberapa hari sebelum penemuan mayat bayi itu, aku memang dibawa teman-temanku ke rumah sakit karena pendarahan yang kualami. Waktu itu mereka berpikir aku mengalami menstruasi yang berlebihan dan kondisi tubuhku yang terus melemah. Dari keterangan dokter, polisi menyimpulkan bahwa kesakitan yang kualami bukan karena menstruasi melainkan karena aku baru saja melahirkan. Aku tidak bisa mengelak karena bukti-bukti medis dan bukti-bukti lain yang memberatkan aku. Aku digelandang ke kantor polisi dengan kondisi yang belum cukup kuat dan sekaligus menguak aib yang selama ini kupendam. Beberapa temanku menangis dan tidak percaya pada kenyataan yang dilihat. Aku sangat tertekan, seolah tidak bisa menghentikan air mataku ketika mereka memasukkan aku ke dalam sel bercampur-baur dengan orang-orang lain yang disangka melakukan tindak pidana kriminal.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pengadilan memutuskan aku bersalah dan memvonis aku dengan hukuman tujuh bulan penjara. Beberapa hal dianggap meringankan seperti misalnya aku belum pernah melakukan perbuatan kriminal, usiaku yang masih muda, kooperatif dalam persidangan dan hasil visum menyatakan bahwa bayiku meninggal karena benturan dan diduga jatuh saat aku melahirkan. Meski hanya tujuh bulan dalam penjara, bagiku masa itu adalah masa-masa menakutkan yang harus aku lalui. Tapi aku menerima keputusan itu dan merasa inilah hukuman dari Tuhan yang ditimpakan kepadaku di dunia karena perbuatanku sendiri.
Kini aku telah bebas dan peristiwa yang sudah terjadi beberapa tahun lalu itu telah kukubur dalam-dalam. Aku tidak ingin mengingat-ingat peristiwa menakutkan itu meski terkadang bayangan kelam itu berkelebat dalam pikiranku. Terlebih masih banyak orang yang tetap memandang aku sebagai perempuan hina karena perbuatanku di masa lampau. Namun aku tetap berjanji dalam hati kecilku bahwa aku akan kembali ke jalan yang benar. Aku percaya Tuhan akan mengampuni dosa umat-Nya jika mereka sungguh-sungguh bertobat dan tidak akan melakukannya lagi di kemudian hari. Ya Tuhan ampunilah dosa-dosaku. (Seperti dituturkan Marni kepada Roy Pujianto)R.26
Sumber : Majalah Fakta No. 568